(Pelopor Barisan Berkuda dan Ahli Filsafat)
Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata:
“Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul
Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita
Miqdad bin ‘Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian
untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah
menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan
nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya
dengan nama ayahnya yaitu ‘Amr bin Sa’ad.
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula
pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara
terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka
dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para kesatria dan
keperwiraan kaum Hawari!.
Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu
peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya
kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang
untuk menjadi miliknya....
Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasulullah:
”Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih
suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ....”
Pada hari tang bermula dengan kesuraman itu .... yakni
ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan
tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka .... Pada hari
itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami
peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang
mereka terjuni ....
Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan
meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang,
baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya ..., para shahabat
dibawanya bermusyawarah; dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah
fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh.
Artinya dari setiap mereka dimintainya pendirian dan pendapat yang sebenarnya,
hingga bila ada diantara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan
pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.
Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu
berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad
ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat
menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk
pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah
mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad
menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan
buah pembicaraannya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
"Ya Rasulullaah ....
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan
bersama anda ...!
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani
Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami
akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah
anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di
samping anda ...!
Demi yang
telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui
lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai
tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di
bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenangan
...!
Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang
lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara
mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari
kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam
kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan
ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin
bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan ...!
Sungguh,
kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati
orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshar bangkit
berdiri, katanya:
“Wahai Rasulullah .....
Sungguh kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda,
dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar ..., serta untuk
itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!
Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda
kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda ...!
Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan
mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di
antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk
menghadapi musuh ...!
Sungguh,
kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga
Allah akan memperlihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda
...! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah ...!”
Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu
sabdanya kepada shahabat-shahabatnya:
سِيْرُوْا وَاَبْشِرُوْا
“Berangkatlah
dan besarkanlah hati kalian ...!”
Dan kedua pasukan pun
berhadapanlah ....
Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya
tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan
Zubair bin Awwam; sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan
pejalan kaki atau pengendara-pengendara unta.
******
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja
menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang
tepat dan pemikirannya yang dalam ....
Demikianlah sifat Miqdad ....
Ia adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan
filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada
prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan
lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan
penunjang bagi filsafat itu.
Pada
suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia
kembali dari tugasnya, Nabi bertanya:
كَيْفَ وَجَدْتَ الْاِمَارَةَ؟
فَأَجَابَ فِىْ صِدْقٍ عَظِيْمٍ: لَقَدْجَعَلْتَنِىْ اَنْظُرُ اِلَى نَفْسِىْ كَمَالَوْكُنْتُ
فَوْقَ النَّاسِ وَهُمْ جَمِيْعًادُوْنِىْ. وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ
لَااَتَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ بَعْدَ الْيَوْمِ اَبَدًا.
“Bagaimanakah
pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah
menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua
dibawahku .... Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat
ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk
selama-lamanya ...!”
Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang
dikatakan filsafat itu ...?
Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi
yang disebut filosof ...?
Seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak
hendak terperdaya oleh kelemahannya ...!
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi
oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah
akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman
pahit itu. Kemudian bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak
itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir ...!
Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari
Rasulullah saw, yakni:
اِنَّ السَّعِيْدَ
لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ
“Orang yang berbahagia, ialah orang yang
dijauhkan dari fitnah ...!”
Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu
kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka
syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya.
Di antara madhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak
tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini
juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. yang telah menyampaikan kepada
ummatnya:
اَنَّ قَلْبَ ابْنِ
ادَمَ اَسْرَعُ تَقَلُّبًا مِنَ الْقِدْرِ حِيْنَ تَغْلَىْ.
“bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya
daripada isi periuk di kala menggelegak ...”.
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap
seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang
akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi .... Perubahan
atau hal baru apakah lagi setelah maut ...?
Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah
seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu
menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya:
“Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba
lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah
kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami
dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan ...!”
Miqdad
pergi menghampirinya, katanya:
“Apa yang mendorong kalian untuk
ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian,
padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukanlah di masa Rasulullah saw, banyak orang yang ditelungkupkan
Allah mukanya ke neraka jahannam ...!
Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian
dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah ...! Dan hikmah yang
bagaimana lagi ...? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang
anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh
kesempatan untuk melihatnya!
Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib
yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak
mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi
salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir
bersama orang-orang kafir lainnya ...?
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di
masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara
mudah dan bersih ...?
Demikianlah pandangan Miqdad,
memancarkan hikmah dan filsafat .... Dan seperti demikian pula pada setiap
tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung
....
*****
Kecintaan Miqdad kepada Islam
tidak terkira besarnya ....
Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar serta didampingi oleh
hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas
hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul
tanggung jawabnya ....
Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini ....
Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatannya dipenuhi rasa
tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kebohongan
di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah
Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya ...!
Sedang kecintaannya
kepada Islam menyebabkannya bertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja
dari tipudaya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawannya
sendiri ....
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang
sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar
tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui
larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima
hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak
usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis
berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad
meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu
dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkaplah
kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang
surulah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk
melakukan qishash!”
Sang amir tunduk dan bersedia ...,
hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af.
Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama
yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan
berdendang: “Biar saya mati, asal Islam tetap jaya ...!”
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan
Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati
yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawan-kawannya untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw.
menerima ucapan berikut:
اِنَّ اللهَ
اَمَرَنِىْ بِحُبِّكَ وَاَنْبَأَنِى اَنَّهُ يُحِبُّكَ
“Sungguh, Allah
telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa Ia
mencintaimu”.
Ya Allah bangkitkanlah
dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela
Agama-Mu .... Aamin ...!
*Sumber : Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah, Khalid Muhammad Khalid, Alih Bahasa: Mahyuddin Syaf dkk, cetakan ketiga, Diponegoro Bandung