Bank Syariah
1.
Melakukan
investasi-investasi yang halal saja.
2.
Berdasarkan prinsip bagi
hasil, jual beli, atau sewa.
3.
Profit dan Falah
Oriented, mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
4.
Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan kemitraan.
5.
Penghimpunan dana dan
penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan
disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Bank Konvensional
1.
Investasi yang halal dan
haram.
2.
Memakai perangkat bunga.
3.
Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan debitor-kreditor.
4.
Tidak terdapat dewan
sejenis.
Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan
beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena
itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan
prinsip syariah. Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah
:
1.
Transaksi yang tidak
mengandung riba.
2.
Transaksi yang ditujukan
untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3.
Transaksi yang ditujukan
untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah).
4.
Transaksi yang ditujukan
untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah).
5.
Transaksi deposito,
tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan
transaksi titipan (wadiah).
Prinsip dasar Bank Syariah adalah sebagai sebuah lembaga
keuangan yang lebih mengutamakan sektor riil dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Perbankan Syariah harus bebas dari riba, kegiatan spekulatif, atau
perjudian dan bebas dari segala bentuk ketidakjelasan atau meragukan (gharar),
karena Al-Qur’an dan hadis melarang praktik ekonomi yang menggunakan bunga,
spekulatif, atau perjudian dan bebas dari segala bentuk yang tidak jelas atau
meragukan tersebut. Sebab hal itu bisa mendatangkan kerugian kepada salah satu
pihak, menyebabkan teraniaya dan merasa tidak mendapat perlakuan yang adil.
Dalam beberapa hal Bank Konvensional dan Bank Syariah
memiliki persamaan, terutama dalam segi teknis penerimaan uang, mekanisme
transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh
pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan
tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu
menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja. Untuk jelasnya, secara rinci sebagai berikut:
1. Akad dan Aspek Legalitas
Menurut Afzalur Rahman, dalam Bank Syariah
akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang
dilakukan berdasarkan hukum islam. Seringkali nasabah berani melanggar
kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan
hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki
pertanggung jawaban hingga yaumul qiyyamah nanti. Menurut Muhammad
Syafi’i Antonio, setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang,
pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad.
2. Lembaga Penyelesaian
Sengketa
Bank Syariah berbeda dengan bank
konvensional, karena jika pada Perbankan Syariah terdapat perbedaan atau
perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tatacara
dan hukum menteri syariah.
Jika terjadi salah satu pihak (bank atau
nasabah) tidak menunaikan kewajibannya, atau jika terjadi perselisihan diantara
para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Abritrasi Syariah,
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pengadilan Agama),
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Hal ini berdasarkan
undang-undang Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pasal 49, bahwa salah satu tugas dan wewenang Peradilan Agama
adalah, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam Bank
Konvensional tidak melalui Badam Abtitrasi Syariah, atau melalui Peradilan
Agama, sesuai peraturan perundang-undangan, tetapi hanya diselesaikan masalahnya
pada Pengadila Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
perbankan konvensional.
3. Struktur Organisasi
Bank Syariah memiliki struktur yang sama
dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi
unsur yang amat dibedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah
keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional
bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah. Ketentuan ini
telah ditetapkan dalam UU No.40 Tahun 2006 tentang PT dan Perbankan Syariah,
PBI No.6c6 dan BUS/UUS.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakan
pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin
efektifitas setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena
itu, biasanyapenetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham,
setelah anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi Dewan Syariah
Nasional MUI.
4.
Dewan Pengawas Syariah
(DPS).
Peran utama Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan syariah. DPS harus menyatakan setelah meneliti, mengkaji dan
memberikan saran bahwa pedoman operasional dan produk telah sesuai dengan
ketentuan syariah. Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara
berkala, bahwa operasional bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan
ketentuan syariah. Tugas lain DPS adalah meneliti dan membuat opini, atau
rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya, kemudian dikirim ke DSN
untuk difatwakan, bila produk itu belum ada fatwanya.
5.
Dewan Syariah Nasional
(DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga
keuangan syariah di Tanah Air, berkembang pula lah jumlah DPS yang berada dan
mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri,
tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan
tumbuhnya opini yang berbeda masing-masing DPS dalam hal itu tidak mustahil
akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari
lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu untuk membangun
dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan,
termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kemudian dikenal dengan
Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun
1996 yang merupakan hasil rekomendasi lokakarya ulama tentang reksadana syariah
pada bulan Juli tahun 1997. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah majlis
ulama Indonesia dipimpin oleh ketua umum majlis ulama Indonesia dan sekretaris
umum (ex-officio).
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah
mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariat
Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga
lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan
sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional membuat
garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis
panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi dewan pengawas syarian pada
lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan
produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Pengawas Syariah
Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan
oleh lembaga keuangan syariah. Produk baru tersebut harus diajukan oleh
manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga
yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi
kepada para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada
suatu lembaga keuangan syariah.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi
teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan
menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika
Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada
lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
Jika lembaga keuangan syariah tersebut
tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengusulkan kepada
otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk
memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh
tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Bank Konvensional tidak
memiliki Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional seperti yang
dimiliki bank syariah.
6.
Bisnis dan Usaha yang
dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang
dilaksanakan tidak terlepas dari saingan syariah. Karena itu, bank syariah
tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang
diharamkan.
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan
tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai
berikut: Apakah objek pembiayaan halal ayau haram?, Apakah proyek menimbulkan
kemudharatan untuk masyarakat?, Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan
mesum/asusila?, Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?, Apakah usaha
tersebut berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada
senjata pembunuh masal?, Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara
langsung maupun tidak langsung?.
Dalam peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta jasa pelayanan jasa bank syariah
pasal 2 ayat (1) dan (2) disebutkan sebagai berikut:
(1)
Dalam melaksanakan kegiatan
penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, bank wajib memenuhi
prinsip syariah.
(2)
Pemenuhan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok
hukum Islam, anatara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun),
kemaslahatan (mushlahah), dan universalisme (‘alamiyah), serta
tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba zhulm, risywah, dan objek haram.
Ketentuan prinsip syariah tersebut juga disebutkan dalam UU Bank Syariah dan
SEBI. Dalam perbankan konvensional tidak diisyariatkan demikian itu.
7.
Budaya Kerja dan Lingkungan
Kerja
Sebuah Bank Syariah selayaknya memiliki
lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat
amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin
integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah
harus skillful dan profesional (fathonah), dan mampu melakukan tugas
secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi
(tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan sesuai dengan
syariah.
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah
laku dari para karyawan merupakan cerminan, bahwa mereka bekerja dalam sebuah
lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang
terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah,
akhlak harus senantiasa terjaga.
Perbedaan Sistem Bungan dan Non Bunga/bagi
hasil
1.
Penentuan bunga dibuat pada
waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Penentuan besarya rasio/nisbah
bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan
rugi.
2.
Besarnya presentase
berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Besarnya rasio bagi
hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3.
Pembayaran bunga tetap
seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak.
4.
Jumlah pembayaran bunga
tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan melipat atau keadaan ekonomi sedang
booming. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
5.
Eksistensi bunga diragukan
(kalau tidak dikecam) oleh semua agama. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
hasil.
Bank syariah dalam praktiknya tidak hanya menjadi keuangan yang
menggunakan prinsip bagi hasil saja, tetapi juga melakukan berbagai jenis
transaksi seperti gadai, sewa menyewa, hutang piutang, dan lain sebagainya.
Bank syariah yang merupakan sebuah lembaga keuangan yang menggunakan background
islam harus menjalankan sistem operasional sesuai syariat Islam dengan
menggunakan Al-Qur’an daan hadis sebagai pedoman dalam menjalankan
operasionalnya.
*Sumber : Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH" Edisi Syawwal 1439 H / Juli 2018 M