Kamis, 01 November 2018

Kapan dan Kenapa ada Bank Syariah?

Menurut para ekonom muslim, sebenarnya aktifitas perbankan telah dimulai sejak zaman Rasulullaah Saw. Beliau terkenal sebagai seorang yang terpercaya menyimpan segala deposit masyarakat Arab Quraisy sampai ketika beliau hijrah ke Madinah. Zubair bin Awwam adalah seorang sahabat Rasul Saw yang suka menerima uang dalam bentuk pinjaman bukan deposit. Ada dua sebab kenapa Zubair menerimanya, Pertama; karena jika akadnya pinjaman ia berhak memutar uang tersebut untuk diinvestasikan. Kedua; jika transaksi berbentuk pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti semula.

Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah Saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.

Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti kredit (English: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English: check; France: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di Pasar.

Kemudian pada era modern, tepatnya pada tahun 1940-an Perbankan Syariah dipraktekkan oleh Pakistan dan Malaysia yang menerapkan sistem profit dan loss sharing yaitu dengan cara mengelola dana milik jamaah haji secara non konvensional. Pada tahun 1963 M di Mesir, telah dirintis pula sebuah bank lokal di Mith Ghamr. Akibat situasi politik saat itu, bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank Egypt. Akibatnya bank ini berubah menjadi bank riba. Namun institusi tersebut menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam selanjutnya.

Pemicu lainnya perbankan Islam adalah respon para ulama mensikapi hukum bunga bank yang dipetakan kepada 3 pendapat. Pertama; bunga bank bukan termasuk riba dengan berbagai alasan, diantaranya tidak ad’afan mudhaafatan artinya bunga sebagai imbal jasa sebagaimana pendapat Muhammad Abduh dan A. Hassan. Kedua; bunga bank adalah syubhat, sebagaimana pendapat pertama Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) dan sebagian pandangan LBM Nahdlatul Ulama (1982) dan Ketiga; bunga bank haram, karena termasuk riba dengan alasan sistem bunga adalah hakikatnya pinjaman yang dipersyaratkan tambahan atau bunga diawal, sehingga disamakan dengan riba nasiah. Inilah pendapat mayoritas dan menjadi kesepakatan lembaga fatwa, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (al-Azhar), Majma’ al-Fiqh al-Islamy (di bawah naungan OKI), dan al-Majma’ al-Fiqhy (Rabithoh al-‘Alam al-Islamy). Sejak tahun 1965 M, ketiga lembaga ini berijma’ bahwa bunga bank adalah; riba yang haram. Kemudian akhirnya di Indonesia hampir semua lembaga fatwa mengharamkannya, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Bahsul Masail NU, Dewan Hisbah PERSIS dan puncaknya fatwa MUI pada tahun 2003. Meski demikian, kita masih saja menjumpai orang-orang yang berusaha mencari-cari celah untuk membolehkan bunga bank ini.

Maka dengan haramnya bunga bank melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada tahun 1975 M rancangan pendirian International Development Bank (IDB) disetujui di Jeddah. Dalam rangka pengembangan sistem ekonomi syariah, IDB membangun sebuah institusi riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (International Risearch and Training Institute).

Pembentukan IDB memberi spirit bagi Negara-negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu; Pertama, Bank Islam Komersil, seperti Faisal Islamic Bank, Kuwait Finance House. Kedua, lembaga investasi dalam bentuk international holding companies, seperti Daar al Maal al Islamy di Jenewa, Islamic Investment Company di Bahama.

Berikut perkembangan sekilas tentang Bank Islam diberbagai Negara:

Bank Dubai Islami berdiri pada tahun 1975 M dengan modal 50 juta dirham. Bank ini berkonsentrasi pada proyek-proyek industry, proyek-proyek perumahan, dan aktifitas-aktifitas komersial. Adapun produk unggulannya adalah proyek perikanan di sepanjang delta Dubai. Pada tahun 1977 M, berdirilah Bait at Tanwil al Kuwaity atau Kuwait Finance House atas kerjasama antara menteri wakaf, menteri kehakiman, dan menteri keuangan. Modal awal 10 Dinar Kuwait. Tujuan utama pembangunan bank ini difokuskan pada pengalihan haluan dari bank sistem ribawi menuju bank islami.

Bank Faisal Islami merupakan Bank Syariah pertama yang mempraktekkan operasional perbankan modern di Mesir. Mulai beroperasi pada bulan Maret 1978 M, dan memperoleh asset 2 miliar dollar USA pada tahun 1986 M. Tujuannya memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang meliputi kebutuhan sandang, pangan dan pakaian. Produk andalannya adalah proyek perumahan ekonomis untuk kelas menengah kebawah.

Pakistan termasuk pelopor dibidang perbankan syariah. Pada tahun 1979 M, sistem bunga diganti dengan tiga institusi besar lembaga keuangan. Pada tahun 1979-1980 M, pemerintah memberikan sistem pinjaman tanpa bunga kepada nelayan dan petani.

Pada tahun 1984 M perbankan syariah mulai beroperasi di Iran. Perbankan syariahnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam; perbankan komersial dan lembaga pembiayaan khusus.

Bahrain memiliki 220 bank yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Tidak kurang dari 22 diantaranya adalah bank syariah, seperti; City Islamic Bank of Bahrain, Faisal Islamic Bank of Bahrain, Al Barakah Bank dan Bank Bahrain Islami.

Pada tahun 1984 M, pemerintah Turki mengizinkan Daar Al Maal al Islamy untuk mendirikan bank yang beroperasi atas dasar bagi hasil. Pada tahun 1985 M didirikan pula Faisal al Finance Institution. Turki juga memiliki ratusan lembaga wakaf yang memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada 
masyarakat.

Adapun bank syariah pertama di Asia Tenggara adalah Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), yang berdiri pada tahun 1983 M, 30% modalnya adalah milik pemerintah federal. Saham BIMB sebagian besar dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan Haji. Pada tahun 1999 M, berdirilah bank syariah baru dengan nama “Bank Bumi Putera Muamalah” yang merupakan anak perusahaan Bank Bumi Putera yang baru saja merger dengan Bank of Commerce.

Bagaimana di Indonesia?

Kita ketahui Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk mayoritas Beragama Islam, dalam mempraktekkan perbankan syariah agak ketinggalan karena kondisi politik yang kurang memadai waktu itu sehingga mempengaruhi lambatnya berdirinya bank syariah. Diskusi bank syariah sebenarnya telah dirintis sejak tahun 80-an. Disamping itu diadakan uji coba dalam skala terbatas, seperti yang dilakukan oleh Baitul Tanwil Salman-Bandung, di Jakarta telah dibentuk Koperasi Ridho Gusti dan akhirnya lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Sementara di Bandung dipelopori oleh KH. Latief Muchtar ketua PERSIS yang terkenal sebagai pejuang ekonomi syariah dengan mendirikan BPRS Amanah Rabbaniyah yang sampai sekarang masih bertahan.

Adapun gagasan untuk mendirikan bank syariah pada dekade 90-an, berawal dari lokakarya bank tanpa bunga yang diadakan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 8-10 Agustus 1990 M di Cisarua Bogor. Hasil dari lokakarya tersebut dibahas kembali dalam Munas MUI IV, yang kemudian berakhir dengan pendirian bank Islam di Indonesia yang bernama “Bank Muamalat Indonesia”. Adapun landasan hukum operasi bank syariah hanya dikategorikan sebagai “Bank dengan sistem Bagi Hasil”.

Hal ini disebabkan karena keterbatasan hukum yang melandasinya, yaitu UU No.7 Tahun 1992 M yang membahas tentang bank syariah hanya sepintas lalu. Kemudian pada tahun 1998 keluarlah undang-undang baru tentang perbankan syariah, yaitu UU No.10 Tahun 1998. Di dalamnya mengatur tentang landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang bisa dioperasikan oleh bank syariah. Undang-undang inilah yang menjadi stimulus kepada bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi total menjadi bank syariah, seperti Bank Susila Bakti menjadi Bank Mandiri Syariah.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182), khususnya Pasal 6 buruf M bahwa bank umum atau bank perkreditan syari’ah dapat beroperasi menggunakan prinsip syariah atau bank umum konvensional dapat juga menjalankan kegiatan syariah disamping kegiatan konvensional. Sistem ini disebut dengan dual banking system, maksudnya adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian regulasi perbankan syariah diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dimana bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan syariah disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) sehingga lahirlah BNI Syariah, BCA Syariah, BTN Syariah dan Unit Usaha Syariah bank lainnya. Termasuk bank yang sahamnya milik non muslim juga membuka Unit Usaha Syariah, tentu motifnya adalah bisnis membidik pasar umat Islam.


*Sumber: Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH" No.4 TH. 56 Syawwal 1439 H / Juli 2018 M

Penulis : Dr. Latief Awaludin, MA.

Rabu, 17 Oktober 2018

Apa itu Bank Syariah?


Menurut istilah internasional perbankan syariah dikenal dengan istilah Islamic Banking atau Interest-free Bankng. Bank Islam adalah suatu lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Menurut Nashruddin Fadhl al Maula Muhammad, Bank Islam adalah Muassassah maliyah al islamiyah (perusahaan keuangan islam) yang menangani semua pekerjaan perbankan, keuangan, perdagangan (bisnis), investasi pembangunan proyek-proyek industri, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, dan sahamnya, baik dari sahamnya sendiri maupun dari saham luar.

Pada dasarnya bank syariah lebih luas pengertiannya dibandingkan bank konvensional yang sekedar lembaga intermediasi namun di Bank Syariah sebagaimana dijalankan di beberapa negara Islam seperti Pakistan, Sudan, dan Iran menjalankan semua aktifitas bisnis dan investasi, sementara di Indonesia bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan hanya dibedakan dalam pola akadnya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diungkapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana serta pelayanan dengan UUD No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 adalah yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Adapun yang dimaksud dengan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah adalah dalam tata cara bermuamalah itu dijauhkan dari praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur riba (bunga), maisir (perjudian), dan gharar (spekulatif dan penipuan) untuk diisi dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil (musyarakah & mudharabah) dan pembiayaan perdagangan (murabahah, istishna dan salam) dengan senantiasa mengikuti perintah dan menjauhi larangan yang tercantum pada Al-Qur’an dan Hadits.

Perbankan Syariah sebagai sebuah lembaga keuangan yang menjalankan segala prinsip-prinsip kerja perbankan modern, sesuai dengan cara-cara dan metode terbaru, untuk memudahkan transaksi perdagangan, menyuburkan daya investasi dan mempercepat laju perkembangan ekonomi dan sosial, dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’. Misalnya pola bagi hasil menggantikan pola bunga bank, pola saham lebih dikedepankan oleh bank daripada sekuritas atau surat berharga.

Sementara perbankan konvensional menggunakan instrumen bunga dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Istilah bunga merupakan terjemahan dari interest dalam bahasa inggris, yang berarti tanggungan kepada pihak peminjam uang yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan atau sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Sedangkan dalam syari’ah, riba secara teknis mengacu kepada pembayaran “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian pokok pinjaman sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam pengertian ini riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest) menurut konsensus para fuqaha tanpa kecuali.

Prinsip kerja perbankan syariah adalah pelarangan riba dan mencapai keuntungan melalui peran bank sebagai perantara antara modal dan kerja. Berikut prinsip-prinsip Perbankan Syariah :

  1. Al-Ghunmu bil ghurmi ; Adanya keuntungan disebabkan adanya kerugian, maksudnya keuntungan atau laba selalu terkait dengan kerja, menanggung resiko dan kemungkinan rugi.
  2. Musyarakah atau bagi hasil dalam hal keuntungan, sebagai ganti dari praktik bunga atas pinjaman bank konvensional.
  3. Laba mampu menjaga uang capital (modal).
  4.  Mempraktekkan cara-cara investasi syar’i untuk memutar uang capital yang berada di bank melalui transaksi musyarakah, transaksi mudharabah, dan transaksi jual beli.
  5. Memperoleh uang komisi/atau ujrah sebagai kompensasi atas pelayanan bank kepada nasabah.
*Sumber : Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH", edisi Syawwal 1439 H / Juli 2018 H


Selasa, 16 Oktober 2018

Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional


Bank Syariah
1.       Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
2.       Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.
3.       Profit dan Falah Oriented, mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
4.       Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5.       Penghimpunan dana dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Bank Konvensional
1.       Investasi yang halal dan haram.
2.       Memakai perangkat bunga.
3.       Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-kreditor.
4.       Tidak terdapat dewan sejenis.

Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah. Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :
1.       Transaksi yang tidak mengandung riba.
2.       Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3.       Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah).
4.       Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah).
5.       Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).

Prinsip dasar Bank Syariah adalah sebagai sebuah lembaga keuangan yang lebih mengutamakan sektor riil dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan Syariah harus bebas dari riba, kegiatan spekulatif, atau perjudian dan bebas dari segala bentuk ketidakjelasan atau meragukan (gharar), karena Al-Qur’an dan hadis melarang praktik ekonomi yang menggunakan bunga, spekulatif, atau perjudian dan bebas dari segala bentuk yang tidak jelas atau meragukan tersebut. Sebab hal itu bisa mendatangkan kerugian kepada salah satu pihak, menyebabkan teraniaya dan merasa tidak mendapat perlakuan yang adil.

Dalam beberapa hal Bank Konvensional dan Bank Syariah memiliki persamaan, terutama dalam segi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. Untuk jelasnya, secara rinci sebagai berikut:

1.     Akad dan Aspek Legalitas
Menurut Afzalur Rahman, dalam Bank Syariah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumul qiyyamah nanti. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad.

2.       Lembaga Penyelesaian Sengketa
Bank Syariah berbeda dengan bank konvensional, karena jika pada Perbankan Syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tatacara dan hukum menteri syariah.
Jika terjadi salah satu pihak (bank atau nasabah) tidak menunaikan kewajibannya, atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Abritrasi Syariah, atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pengadilan Agama), setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Hal ini berdasarkan undang-undang Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49, bahwa salah satu tugas dan wewenang Peradilan Agama adalah, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam Bank Konvensional tidak melalui Badam Abtitrasi Syariah, atau melalui Peradilan Agama, sesuai peraturan perundang-undangan, tetapi hanya diselesaikan masalahnya pada Pengadila Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang perbankan konvensional.

3.       Struktur Organisasi
Bank Syariah memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat dibedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah. Ketentuan ini telah ditetapkan dalam UU No.40 Tahun 2006 tentang PT dan Perbankan Syariah, PBI No.6c6 dan BUS/UUS.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanyapenetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional MUI.

4.       Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Peran utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah. DPS harus menyatakan setelah meneliti, mengkaji dan memberikan saran bahwa pedoman operasional dan produk telah sesuai dengan ketentuan syariah. Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala, bahwa operasional bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas lain DPS adalah meneliti dan membuat opini, atau rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya, kemudian dikirim ke DSN untuk difatwakan, bila produk itu belum ada fatwanya.

5.       Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air, berkembang pula lah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan tumbuhnya opini yang berbeda masing-masing DPS dalam hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu untuk membangun dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN).

Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1996 yang merupakan hasil rekomendasi lokakarya ulama tentang reksadana syariah pada bulan Juli tahun 1997. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah majlis ulama Indonesia dipimpin oleh ketua umum majlis ulama Indonesia dan sekretaris umum (ex-officio).

Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi dewan pengawas syarian pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.

Fungsi lain dari Dewan Pengawas Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.

Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.

Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Bank Konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional seperti yang dimiliki bank syariah.

6.       Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saingan syariah. Karena itu, bank syariah tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.

Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut: Apakah objek pembiayaan halal ayau haram?, Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?, Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?, Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?, Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada senjata pembunuh masal?, Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?.
Dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta jasa pelayanan jasa bank syariah pasal 2 ayat (1) dan (2) disebutkan sebagai berikut:

(1)    Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, bank wajib memenuhi prinsip syariah.
(2)    Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, anatara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (mushlahah), dan universalisme (‘alamiyah), serta tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba zhulm, risywah, dan objek haram. Ketentuan prinsip syariah tersebut juga disebutkan dalam UU Bank Syariah dan SEBI. Dalam perbankan konvensional tidak diisyariatkan demikian itu.

7.       Budaya Kerja dan Lingkungan Kerja
Sebuah Bank Syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan profesional (fathonah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment,  diperlukan prinsip keadilan sesuai dengan syariah.

Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan, bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.

Perbedaan Sistem Bungan dan Non Bunga/bagi hasil

1.       Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Penentuan besarya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

2.       Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

3.       Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak.

4.       Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan melipat atau keadaan ekonomi sedang booming. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

5.       Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

Bank syariah dalam praktiknya tidak hanya menjadi keuangan yang menggunakan prinsip bagi hasil saja, tetapi juga melakukan berbagai jenis transaksi seperti gadai, sewa menyewa, hutang piutang, dan lain sebagainya. Bank syariah yang merupakan sebuah lembaga keuangan yang menggunakan background islam harus menjalankan sistem operasional sesuai syariat Islam dengan menggunakan Al-Qur’an daan hadis sebagai pedoman dalam menjalankan operasionalnya.        

*Sumber : Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH" Edisi Syawwal 1439 H / Juli 2018 M
  

Selasa, 18 September 2018

GEBYAR MUHARRAM; dari Shaum Sunnah, Budaya Syi’ah, hingga Local Wisdom


Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Shaum Sunnah

Telah dimaklumi dalam Kitabullah, bahwa dalam satu tahun ada 12 bulan, diantaranya ada empat bulan mulia (QS. At-Taubah/9: 36). Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Al-Bazzar dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan, empat bulan (arba’atun hurum) yang dimaksud adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. (Ibnu Katsier, Tafsierul Qur’aanil ‘Azhiem/2, hlm. 322).

Kaitannya dengan shaum sunnah Muharram, di dalamnya ada hari kesembilan (tasu’a) dan hari kesepuluh (‘asyura) yang hakikatnya semua bulan memiliki nama kedua hari tersebut. Namun yang dimaksud di sini adalah hari kesembilan dan kesepuluh di bulan Muharram saja. Sejak kapan penamaan itu populer?, tentunya perlu merujuk pada sumber-sumber periwayatan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Pertama; ‘Asyura telah dipopulerkan sejak zaman Arab jahiliyyah Quraisy, dimana mereka sudah terbiasa melakukan shaum di hari itu. Ketika Rasulullah Saw berada di Madinah, beliau pun shaum dan menyerukan kepada yang lainnya. Setelah datangnya kewajiban shaum ramadhan, para sahabat diberikan pilihan. Bagi yang mau shaum dipersilahkan, bagi yang meninggalkannya tidak apa-apa. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Aisyah ra.).

Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani berkomentar, orang-orang Quraisy melaksanakan shaum, bersandar pada tradisi pendahulu mereka dalam pengagungan kiswah ka’bah. (Asy-Syaukani, Nailul Authaar/2, hlm.321).

Kedua; ‘Asyura merupakan hari yang sangat agung bagi kaum Yahudi, sebahagian mereka shaum dan sebahagiaan lagi menjadikannya hari raya. Mereka meyakini, hari tersebut adalah hari kemenangan, dimana Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan nabi Musa As dan Bani Israil dari musuh-musuhnya. Hal serupa, dilakukan pula oleh kaum Nashrani. (HR. Muslim dan Ahmad dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari dan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu’anhumaa).

Para mufassir menyebutkan, pelaksanaan ibadah mereka ini, lebih disandarkan pada peringatan keselamatan atau hari kemerdekaan mereka setelah diselamatkannya dari kejahatan rezim Fir’aun sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah/2: 49-50. (Asy-Syaukani, Fathul Qadier/1, hlm. 109).

Ketiga; Shaumnya Rasulullaah dihari kesepuluh bulan Muharram, merupakan haknya sebagai Nabi dan Rasul (bukan karena mengikuti Yahudi), karena sebelum mereka melakukannya, beliau sudah lebih dulu menunaikan. Perkataan “Anaa ahaqqu bi Muusa minkum; aku lebih berhak ketimbang Musa dalam menentukan shaum untuk kalian”. Rasul pun shaum dan memerintahkan para sahabatnya untuk shaum pula. (HR. Muslim)

Namun demikian, para sahabat mengajukan keberatan, sehubungan ada nilai kesamaan (tasyabuh) dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, sehingga beliau menambahkan hari kesembilannya (yaumut taasi’). Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh menjelaskan: “Ketika Rasulullaah, menunaikan shaumshaum ‘asyura, beliau memerintahkan agar orang-orang pun menunaikannya. Para shahabat bertanya: wahai Rasulullaah, sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan kaum Yahudi dan Nashrani. Rasul pun menjawab: Jika tahun yang akan datang ada kesempatan, kita akan shaum di hari kesembilannya juga”. Ibnu ‘Abbas menambahkan: “Tahun depan yang disebut-sebut tadi belum tiba, Rasulullaah telah berpulang keharibaanNya lebih dulu” (HR. Muslim/7-8, hlm. 254 no.2661).

Adapun untuk mengukur sejauhmana nilai keutamaan ibadah ini, sahabat Abu Qatadah al-Anshary radhiyallaahu ‘anh menjelaskan: “Bahwa Rasulullaah ditanya tentang keutamaan shaum ‘asyura, beliau menjawab: shaum ‘asyura dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu” (HR. Muslim no. 2740).

Budaya Syi’ah Hingga Local Wisdom

Diantara yang paling menonjol dalam merayakan tradisi ‘asyura adalah kaum Syi’ah dan diantara yang paling berjasa melestarikan upacara-upacara Syi’ah adalah Dinasti Buwaihiyyah (321-447 H). Di samping memperingati hari Ghadir Khum tanggal 18 Dzulhijjah sebagai hari pengangkatan ‘Ali radhiyallaahu ‘anh menjadi penerima wasiat (waashiy) dan khalifah sesudahnya, juga menjadikan 10 Muharram sebagai hari berkabung untuk meratapi wafatnya Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anh. Bahkan pada masa Muiz ad-Daulah Ahmad bin Buwaih, pernah diperintahkan agar seluruh rakyatnya (termasuk penganut Sunni) menutup toko, tidak melakukan transaksi di pasar-pasar, mengenakan pakaian berkabung dan wanitanya meratapi Husein. ‘Abdullah bin Sa’ied al-Junaid dalam bukunya Hiwaarun Haadi Bainas Sunnah was Syi’ah menuturkan: “Perayaan sepuluh Muharram yang disandarkan kepada tanah Karbala (tempat Husein meninggal) dijadikan tanah suci yang disebut turbah husainiyyah, di mana rumah-rumah penganut Syi’ah diletakkan turbah (tanah) tersebut untuk dijadikan perantara dalam bersujud, bahkan mereka menciumnya dan mengambil berkahnya” (Al-Junaid, tp tahun: 111)

Lebih tragis lagi, Mamduh Farhan al-Buhairy dalam bukunya As-Syi’ah Minhum ‘Alaihim, membawakan fakta-fakta keji perayaan mawaakib husainiyyah itu, diantaranya; dengan pakaian serba hitam mereka merobek-robek baju, menampar-nampar pipi, memukul-mukul dada dan punggung, sambil menggotong keranda (tabut) yang disebut kubah Husein seraya mereka berteriak: “yaa Husaiin ... “. Disela-sela ritus Yahudiyyah, mereka mendidik agar anak mereka membiasakan menangis agar nanti terbiasa dalam meratap, bahkan diantara mereka ada yang memaksakan memukul kepala dengan pedang dan rantai besi ke dada mereka hingga berlumuran darah. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa (qurbah). (Al-Buhairy, 2001: hlm. 232).

Untuk menjawab berbagai pihak yang dianggapnya sebagai fitnah dan tuduhan terkait semangat ‘asyura, seorang penulis Syi’ah Ali Ashgar Ridhwani menyususn sebuah buku dengan judul ‘Asyura dan Kebangkitan Imam Husain; Menjawab Fitnah dan Tuduhan. Buku ini diterbitkan Nur Al-Huda, IIC Jakarta.

Dengan keyakinan seperti itu, jelas mereka telah menyalahi ajaran shabar dan ihtisaab, yaitu pencarian pahala sabar dan ridha Allah. Dalam waktu yang sama, ajaran ini pun sangat bertentangan dengan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam: “Bukanlah golongan kami, orang yang suka menampar-nampar pipi dan merobek-robek baju dan berseru dengan seruan jahiliyyah.” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh, Mukhtashar Shahieh al-Bukhari no. 621, hlm.199).

Pada fase berikutnya, kini budaya tersebut mengalami perubahan dalam bentuknya yang berbeda pula, disamping masih banyak yang mempertahankan keasliannya (walau hanya memukul-mukul dada dan kepala dengan tangan). Seiring perkembangannya, dengan alasan kearifan lokal (local wisdom), tradisi bubur suro di Tatar Pasundan sempat membudaya, tabot di Bengkulu, tabuik di Pariaman dan tari seudati (disandarkan pada kata sayyidah Fathimah Az-Zahra) di Aceh sampai kini masih lestari. Bahkan yang lebih familiar seperti pencucian barang pusaka dan grebeg muharram di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini menjadi pesona wisata tersendiri. Demikian pula yang terkait dengan ibadah-ibadah sosial, tidak luput dari irisan yang dikaitkan dengan sepuluh Muharram seperti halnya istilah populer lebaran anak yatim yang dihubung-hubungkan dengan keutamaan sedekah (shadaqah) di bulan ini dimana Sayyidina Husein wafat. Artinya, istilah yang disematkan kepada keutamaan sedekah dan memelihara anak yatim, tidak mesti dihubung-kan dengan keutamaan bulan Muharram yang sudah jelas tuntunannya.

Kembali ke hari ‘Asyura, Syaikh ‘Ali Mahfuzh (Guru Besar Al-Azhar Mesir) dalam kitabnya Al-Ibdaa’ Fie Madhaaril Ibtidaa’ memberikan pandangan singkatnya dengan menukil pendapat ‘Allaamah Ibnu al-‘Izz al-Hanafi sebagai berikut: “Tidak ada keterangan yang shahieh dari Nabi mengenai ‘asyura melainkan shaumnya saja.” (Lihat ‘Ali Mahfuzh, 1985: hlm. 330-337).

Semoga Rabbul ‘Aalamien memberikan keberkahan seberkah bulan Muharram yang dianugerahkanNya dan menghindarkan kita dari segala bentuk pengingkaran dan penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin ... Wallaahul musta’an.
 ___________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah);
Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat);
Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat;
Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah; dan
Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta.
____________
Risalah Jum’ah edisi 4 Muharam 1440 H – 14 September 2018 M
risalahjumah.persis@gmail.com