"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat dia (memiliki karakter) Yahudi, atau (memiliki karakter) Nasrani atau (memiliki karakter) Majusi." (H.R Muslim)
Keluarga merupakan pelaku utama dalam mencegah kejahatan seksual pada anak. Secara prinsip, setiap keluarga memiliki potensi besar untuk memberikan pengajaran cara menghadapi atau mengantisipasi kejahatan pada anaknya.
Kejahatan Seksual, dalam hal ini pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadarinya, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya. Berdasarkan data lembaga perlindungan anak pada tahun 2012-2014 tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah ini, 58 persen dikategorikan sebagai Kejahatan Seksual.
Surabaya (ANTARA News)- Kejahatan Seksual bukan hanya soal kejahatan. Kejahatan Seksual terdiri dari dua kata yakni kejahatan dan seksual, namun titik tekan orang selama ini hanya pada kejahatan.
Karena itu, kejahatan seksual yang sudah tergolong "darurat" ini masih hanya dipahami secara sepihak dengan mencari pelaku, korban, standar hukuman, dan perlu tidaknya diperberat.
Akar masalah dalam kejahatan seksual ini ada pada kata "seksual". Artinya, bagaimana cara meminimalkan berbagai tindak kejahatan seksual ini?
"Adanya kasus kejahatan serta asusila pada anak, sebagian besar dipengaruhi dari menonton video porno," kata MenSos Khofifah Indar Parawansa dalam kunjungan kerja ke Kediri, beberapa waktu lalu.
Konten pornografi yang disebut MenSos itulah yang memicu tindakan asusila maupun kejahatan seksual. Hal itu sudah diamatinya sejak menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Hubungan antara konten pornografi serta kejahatan itu didasari oleh fakta bahwa anak-anak saat ini sudah tidak asing dengan berbagai produk komputer (internet)," tuturnya.
Kecanggihan teknologi bisa lebih mudah bagi anak-anak untuk bisa mengakses berbagai konten, termasuk lewat telepon seluler (gadget ).
"Saya tidak lakukan analisa, tapi saya punya data. Dari data yang saya dapat tahun 2000, ketika anak-anak mengakses konten video porno, maka 60-70 persen itu potensial addict (kecanduan)," ucapnya.
Dampaknya juga bisa lebih jauh, ketika anak-anak sudah kecanduan menonton konten pornografi, maka akan menganggap hal yang semula tabu menjadi biasa. Bahkan, yang lebih parah, 39-49 persen potensi untuk ikut menirukan.
Dalam konteks inilah, MenSos menilai peran keluarga sangat penting untuk lebih mengawasi atau melakukan pendampingan anak-anaknya.
"Dengan menjadi sahabat, anak-anak pun akan merasa lebih nyaman berada di lingkungan keluarga, dan justru bukan lebih nyaman berada di lingkungan teman," imbuhnya.
Peran lain keluarga yang juga vital adalah menanamkan pendidikan agama sejak dini. "Dengan pendidikan agama, anak pun diharapkan mempunyai akhlak yang lebih baik," ujarnya.
Satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan reproduksi. Selama ini, sekolah hanya mengajarkan soal seksual secara biologis, misalnya bentuk dan organ reproduksi. Namun, pemahaman anak terkait bagian yang tidak boleh disentuh maupun yang boleh disentuh justru tidak diajarkan. Karena itu, orang tua juga dapat memainkan peran yang belum dilakukan sekolah itu.
Maka dari itu, demi masa depan anak-anak penerus bangsa kita sebagai keluarga berkewajiban untuk menjaga mereka dari buruknya kejahatan seksual. Marilah kita lakukan apa yang ibu MenSos sebutkan di atas, mulai dari menjadi sahabat anak kita, hingga memberikan pendidikan agama dan reproduksi. Sesuai hadits dipermulaan tulisan ini, mengatakan bahwa orang tua atau keluargalah yang paling berperan dalam pembentukan karakter anak. Seorang anak berkarakter seperti apapun, sangat tergantung pada kedua orang tuanya.
Demikianlah tulisan tentang Peran Keluarga Terhadap Kejahatan Seksual Pada Anak ini, semoga dapat memberikan banyak manfaat terkhusus pada para orangtua dan keluarga. Wallaahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar