Kamis, 18 Juni 2015

Keutamaan Ilmu



Melakukan suatu perkara perlu adanya ilmu yang mendasar akan hal tersebut. Jika tidak, perkara yang tadinya diharapkan baik hasilnya akan berbuah sebaliknya. Semua anggota badan ini akan menjadi saksi atas setiap perkara yang kita kerjakan, baik berbuah manis atau sebaliknya.
Dalam QS. Az-Zumar : 9, Allah memberikan pertanyaan kepada kita yang menuntun kita agar memperhatikan antara manusia yang berbakti ta’at beribadah sepanjang malam sambil sujud dan berdiri (shalat, tadarus, dan amal shaleh lainnya) dibarengi dengan rasa takut akan adzab akhirat dan mengharap rahmat dibandingkan dengan manusia yang tidak seperti itu. Sebagai contoh antara orang yang menghambur-hamburkan waktu dengan orang yang bekerja lembur. Orang yang menghambur-hamburkan  waktu, mereka tidak akan mendapat apa-apa selain waktu yang terbuang percuma. Sebaliknya dengan orang yang bekerja lembur, ia akan mendapat pahala lebih terhadap pekerjaannya sebagai usaha ia dalam mencari nafkah.
Hal berbeda akan terasa ketika dalam sebuah kumpulan terdapat saling memberikan support antar sesama untuk melakukan kebaikan, membahas keilmuan dengan saling bertukar pikiran, dsb. Itulah yang diharapkan akan adanya suatu kumpulan yang terbentuk demi kebaikan kita bersama.
Kenyataan yang berbicara bahwasannya kita lebih pandai untuk menilai orang lain daripada diri sendiri. Pepatah mengatakan semut disebrang lautan nampak jelas terlihat akan tetapi gajah di pelipis mata sendiri terabaikan. Masih dalam QS. Az-Zumar ayat sembilan ini kita ditanya oleh Allah SWT, “Apakah sama antara manusia yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”. Pertanyaan ini bukan untuk dijawab dengan lisan, melainkan menjadi bahan renungan kita semua. Sebagai contoh kita melihat perbedaan antara seorang dokter dengan seorang pengembala, ketika mereka kehausan. Bagi seorang pengembala ketika hal tersebut menimpa dirinya, yang akan ia lakukan adalah mencari air yang menurut ia jernih dan langsung meminumnya. Berbeda dengan seorang dokter ,ia akan memasaknya terlebih dahulu. Karena dokter tahu air yang jernih belum tentu baik untuk diminum langsung, masih terdapat bakteri serta kuman yang tidak nampak dan berbahaya bagi tubuh. Dari contoh tersebut nampak jelas perbedaan orang yang berilmu dengan yang tidak.
Dalam kenyataan tidak dipungkuri bahwa hal tersebut di atas bisa berbalik, yakni ketika orang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya. Hal itu membuktikan bahwa ilmu yang ia miliki tidak memberikan penerangan dalam hidupnya.
Banyak amal tanpa adanya ilmu yang mendasari, bisa celaka. Sebagai contoh, terlihat asik dan menyenangkannya orang yang berkendara baik motor ataupun mobil di jalan raya. Keasyikan yang terpancar dari para pengendara membuat si A tertarik untuk mencobanya, padahal ia sebelumnya tak pernah berkendara dan tak tahu pula caranya. Sebuah motor yang menganggur lantas ia coba, wal hasil apa yang terjadi, ia terjatuh dan tersungkur tak jauh dari tempat semula. Itulah akibat dari ketidak tahuan akan sesuatu. Disini si A tidak tahu dasar berkendara sudah mencoba membawa motor, bukan keasyikan yang didapat malah celaka yang diraih.
Dasar ilmu keberadaannya sangat penting. Di dunia saja mesti memakai ilmu, begitu pun bagi kehidupan akhirat. “ Faman araada dunya fa’alaihi bi ‘ilmin, waman araadal aakhirat fa’alaihi bi ‘ilmin, Barang siapa yang ingin sukses di dunia mesti memakai ilmu, begitu pun bagi kehidupan akhirat mesti memakai ilmu”.
Di penghujung QS. Az-Zumar ayat 9 di sebutkan kalimat Ulul Albab. Ulul Albab disini berarti manusia yang mengoptimalkan akal pikiran, yang siap terbuka hatinya untuk menerima segala ilmu dan mengamalkannya. Maka dari itu kita mesti mengoptimalkan diri ini agar menjadi manusia yang mengoptimalkan akal pikiran, yang siap terbuka hatinya untuk menerima segala ilmu dan mengamalkannya. Menjadi orang yang berilmu dan mengamalkannya.
Ayat di atas menunjukkan kepada kita akan sebuah rahasia yang begitu luar biasa, dari awal ayat ini menjelaskan mengenai amal dan diakhiri dengan hal meneruskan ilmu. Ini menunjukkan bahwa kesempurnaan/keistimewaan manusia termasuk pada dua hal ini, yaitu ilmu dan amalnya. Amal bukan dilihat dari banyaknya, akan tetapi pada baik atau tidaknya amal tersebut. Menentukan baik dan tidaknya didasari pada ilmu suatu amal tersebut.
Imaanan wah tisaaban, menjadi syarat kesempurnaan ibadah shaum. Dengan keimanan dan penuh perhitungan, mencari tahu bagaimana shaum kita ini menjadi ibadah maqbul yang dirindukan syurga.
Tidak setiap orang yang shaum mendapatkan pahala. Shaum bukan hanya menahan lapar dan dahaga, akan tetapi menahan nafsu dan syahwat serta dari segala sesuatu yang membatalkan juga dari perkara yang dapat mengurangi pahala shaum, itu semualah yang menjadi tantangan.
Shaum sebagai istighfar kita kepada Allah SWT. Bahkan setelah shalat, kita dianjurkan untuk beristighfar. Padahl kita bukan telah melakukan hal yang negatif. Juga setelah peristiwa Fathu Makkah, kita diberi contoh untuk beristighfar yang dimana itu merupakan hal yang baik.
Fungsi ilmu begitu luar biasa, sebagai penerang di kehidupan (Al’ilmu nuurun). Dalam upaya memperoleh ilmu, hal tersebut sudah termasuk di jalan Allah (Fii sabiilillaah). Ketika kita berangkat sekolah, menuju pengajian, menuju diskusi ilmu, dlsb, itu semua telah dihitung sebagai amal ibadah.
Diangkatnya ilmu merupakan salah satu tanda kiamat. Bukan berarti secara langsung Allah mengangkat ilmu dimuka bumi ini, akan tetapi Allah mengankat ilmu ini lewat meninggalnya orang ‘alim (berilmu). Ketika semua orang ‘alim telah tiada, maka bersama itu pula ilmu terangkat dari dunia ini. Dan akhirnya manusia memilih serta mengangkat seorang pemimpin yang tidan berilmu yang akan membawa pada kehancuran.
Mudah-mudahan kita semua tergolong pada golongan yang cinta akan ilmu, hingga ibadah yang kita amalkan bernilai baik serta diterima disisinya. Aamiin,.
wallaahu a’lam,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar