Melakukan suatu perkara perlu adanya ilmu yang
mendasar akan hal tersebut. Jika tidak, perkara yang tadinya diharapkan baik
hasilnya akan berbuah sebaliknya. Semua anggota badan ini akan menjadi saksi
atas setiap perkara yang kita kerjakan, baik berbuah manis atau sebaliknya.
Dalam QS. Az-Zumar : 9, Allah memberikan
pertanyaan kepada kita yang menuntun kita agar memperhatikan antara manusia
yang berbakti ta’at beribadah sepanjang malam sambil sujud dan berdiri (shalat,
tadarus, dan amal shaleh lainnya) dibarengi dengan rasa takut akan adzab
akhirat dan mengharap rahmat dibandingkan dengan manusia yang tidak seperti
itu. Sebagai contoh antara orang yang menghambur-hamburkan waktu dengan orang
yang bekerja lembur. Orang yang menghambur-hamburkan waktu, mereka tidak akan mendapat apa-apa
selain waktu yang terbuang percuma. Sebaliknya dengan orang yang bekerja
lembur, ia akan mendapat pahala lebih terhadap pekerjaannya sebagai usaha ia
dalam mencari nafkah.
Hal berbeda akan terasa ketika dalam sebuah
kumpulan terdapat saling memberikan support antar sesama untuk melakukan
kebaikan, membahas keilmuan dengan saling bertukar pikiran, dsb. Itulah yang
diharapkan akan adanya suatu kumpulan yang terbentuk demi kebaikan kita
bersama.
Kenyataan yang berbicara bahwasannya kita
lebih pandai untuk menilai orang lain daripada diri sendiri. Pepatah mengatakan
semut disebrang lautan nampak jelas terlihat akan tetapi gajah di pelipis mata
sendiri terabaikan. Masih dalam QS. Az-Zumar ayat sembilan ini kita ditanya
oleh Allah SWT, “Apakah sama antara manusia yang berilmu dengan yang tidak
berilmu?”. Pertanyaan ini bukan untuk dijawab dengan lisan, melainkan menjadi
bahan renungan kita semua. Sebagai contoh kita melihat perbedaan antara seorang
dokter dengan seorang pengembala, ketika mereka kehausan. Bagi seorang
pengembala ketika hal tersebut menimpa dirinya, yang akan ia lakukan adalah
mencari air yang menurut ia jernih dan langsung meminumnya. Berbeda dengan
seorang dokter ,ia akan memasaknya terlebih dahulu. Karena dokter tahu air yang
jernih belum tentu baik untuk diminum langsung, masih terdapat bakteri serta
kuman yang tidak nampak dan berbahaya bagi tubuh. Dari contoh tersebut nampak
jelas perbedaan orang yang berilmu dengan yang tidak.
Dalam kenyataan tidak dipungkuri bahwa hal
tersebut di atas bisa berbalik, yakni ketika orang yang berilmu tidak
mengamalkan ilmunya. Hal itu membuktikan bahwa ilmu yang ia miliki tidak
memberikan penerangan dalam hidupnya.
Banyak amal tanpa adanya ilmu yang mendasari,
bisa celaka. Sebagai contoh, terlihat asik dan menyenangkannya orang yang
berkendara baik motor ataupun mobil di jalan raya. Keasyikan yang terpancar
dari para pengendara membuat si A tertarik untuk mencobanya, padahal ia
sebelumnya tak pernah berkendara dan tak tahu pula caranya. Sebuah motor yang
menganggur lantas ia coba, wal hasil apa yang terjadi, ia terjatuh dan
tersungkur tak jauh dari tempat semula. Itulah akibat dari ketidak tahuan akan
sesuatu. Disini si A tidak tahu dasar berkendara sudah mencoba membawa motor,
bukan keasyikan yang didapat malah celaka yang diraih.
Dasar ilmu keberadaannya sangat penting. Di
dunia saja mesti memakai ilmu, begitu pun bagi kehidupan akhirat. “ Faman
araada dunya fa’alaihi bi ‘ilmin, waman araadal aakhirat fa’alaihi bi ‘ilmin, Barang
siapa yang ingin sukses di dunia mesti memakai ilmu, begitu pun bagi kehidupan
akhirat mesti memakai ilmu”.
Di penghujung QS. Az-Zumar ayat 9 di sebutkan
kalimat Ulul Albab. Ulul Albab disini berarti manusia yang
mengoptimalkan akal pikiran, yang siap terbuka hatinya untuk menerima segala
ilmu dan mengamalkannya. Maka dari itu kita mesti mengoptimalkan diri ini agar
menjadi manusia yang mengoptimalkan akal pikiran, yang siap terbuka hatinya
untuk menerima segala ilmu dan mengamalkannya. Menjadi orang yang berilmu dan
mengamalkannya.
Ayat di atas menunjukkan kepada kita akan
sebuah rahasia yang begitu luar biasa, dari awal ayat ini menjelaskan mengenai
amal dan diakhiri dengan hal meneruskan ilmu. Ini menunjukkan bahwa
kesempurnaan/keistimewaan manusia termasuk pada dua hal ini, yaitu ilmu dan
amalnya. Amal bukan dilihat dari banyaknya, akan tetapi pada baik atau tidaknya
amal tersebut. Menentukan baik dan tidaknya didasari pada ilmu suatu amal
tersebut.
Imaanan wah tisaaban, menjadi syarat kesempurnaan ibadah shaum. Dengan keimanan dan penuh
perhitungan, mencari tahu bagaimana shaum kita ini menjadi ibadah maqbul yang
dirindukan syurga.
Tidak setiap orang yang shaum mendapatkan
pahala. Shaum bukan hanya menahan lapar dan dahaga, akan tetapi menahan nafsu
dan syahwat serta dari segala sesuatu yang membatalkan juga dari perkara yang
dapat mengurangi pahala shaum, itu semualah yang menjadi tantangan.
Shaum sebagai istighfar kita kepada
Allah SWT. Bahkan setelah shalat, kita dianjurkan untuk beristighfar.
Padahl kita bukan telah melakukan hal yang negatif. Juga setelah peristiwa Fathu
Makkah, kita diberi contoh untuk beristighfar yang dimana itu merupakan hal
yang baik.
Fungsi ilmu begitu luar biasa, sebagai
penerang di kehidupan (Al’ilmu nuurun). Dalam upaya memperoleh ilmu, hal
tersebut sudah termasuk di jalan Allah (Fii sabiilillaah). Ketika kita
berangkat sekolah, menuju pengajian, menuju diskusi ilmu, dlsb, itu semua telah
dihitung sebagai amal ibadah.
Diangkatnya ilmu merupakan salah satu tanda
kiamat. Bukan berarti secara langsung Allah mengangkat ilmu dimuka bumi ini,
akan tetapi Allah mengankat ilmu ini lewat meninggalnya orang ‘alim (berilmu).
Ketika semua orang ‘alim telah tiada, maka bersama itu pula ilmu
terangkat dari dunia ini. Dan akhirnya manusia memilih serta mengangkat seorang
pemimpin yang tidan berilmu yang akan membawa pada kehancuran.
Mudah-mudahan kita semua tergolong pada golongan yang
cinta akan ilmu, hingga ibadah yang kita amalkan bernilai baik serta diterima
disisinya. Aamiin,. wallaahu a’lam,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar