Kamis, 01 November 2018

Kapan dan Kenapa ada Bank Syariah?

Menurut para ekonom muslim, sebenarnya aktifitas perbankan telah dimulai sejak zaman Rasulullaah Saw. Beliau terkenal sebagai seorang yang terpercaya menyimpan segala deposit masyarakat Arab Quraisy sampai ketika beliau hijrah ke Madinah. Zubair bin Awwam adalah seorang sahabat Rasul Saw yang suka menerima uang dalam bentuk pinjaman bukan deposit. Ada dua sebab kenapa Zubair menerimanya, Pertama; karena jika akadnya pinjaman ia berhak memutar uang tersebut untuk diinvestasikan. Kedua; jika transaksi berbentuk pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti semula.

Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah Saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.

Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti kredit (English: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English: check; France: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di Pasar.

Kemudian pada era modern, tepatnya pada tahun 1940-an Perbankan Syariah dipraktekkan oleh Pakistan dan Malaysia yang menerapkan sistem profit dan loss sharing yaitu dengan cara mengelola dana milik jamaah haji secara non konvensional. Pada tahun 1963 M di Mesir, telah dirintis pula sebuah bank lokal di Mith Ghamr. Akibat situasi politik saat itu, bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank Egypt. Akibatnya bank ini berubah menjadi bank riba. Namun institusi tersebut menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam selanjutnya.

Pemicu lainnya perbankan Islam adalah respon para ulama mensikapi hukum bunga bank yang dipetakan kepada 3 pendapat. Pertama; bunga bank bukan termasuk riba dengan berbagai alasan, diantaranya tidak ad’afan mudhaafatan artinya bunga sebagai imbal jasa sebagaimana pendapat Muhammad Abduh dan A. Hassan. Kedua; bunga bank adalah syubhat, sebagaimana pendapat pertama Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) dan sebagian pandangan LBM Nahdlatul Ulama (1982) dan Ketiga; bunga bank haram, karena termasuk riba dengan alasan sistem bunga adalah hakikatnya pinjaman yang dipersyaratkan tambahan atau bunga diawal, sehingga disamakan dengan riba nasiah. Inilah pendapat mayoritas dan menjadi kesepakatan lembaga fatwa, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (al-Azhar), Majma’ al-Fiqh al-Islamy (di bawah naungan OKI), dan al-Majma’ al-Fiqhy (Rabithoh al-‘Alam al-Islamy). Sejak tahun 1965 M, ketiga lembaga ini berijma’ bahwa bunga bank adalah; riba yang haram. Kemudian akhirnya di Indonesia hampir semua lembaga fatwa mengharamkannya, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Bahsul Masail NU, Dewan Hisbah PERSIS dan puncaknya fatwa MUI pada tahun 2003. Meski demikian, kita masih saja menjumpai orang-orang yang berusaha mencari-cari celah untuk membolehkan bunga bank ini.

Maka dengan haramnya bunga bank melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada tahun 1975 M rancangan pendirian International Development Bank (IDB) disetujui di Jeddah. Dalam rangka pengembangan sistem ekonomi syariah, IDB membangun sebuah institusi riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (International Risearch and Training Institute).

Pembentukan IDB memberi spirit bagi Negara-negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu; Pertama, Bank Islam Komersil, seperti Faisal Islamic Bank, Kuwait Finance House. Kedua, lembaga investasi dalam bentuk international holding companies, seperti Daar al Maal al Islamy di Jenewa, Islamic Investment Company di Bahama.

Berikut perkembangan sekilas tentang Bank Islam diberbagai Negara:

Bank Dubai Islami berdiri pada tahun 1975 M dengan modal 50 juta dirham. Bank ini berkonsentrasi pada proyek-proyek industry, proyek-proyek perumahan, dan aktifitas-aktifitas komersial. Adapun produk unggulannya adalah proyek perikanan di sepanjang delta Dubai. Pada tahun 1977 M, berdirilah Bait at Tanwil al Kuwaity atau Kuwait Finance House atas kerjasama antara menteri wakaf, menteri kehakiman, dan menteri keuangan. Modal awal 10 Dinar Kuwait. Tujuan utama pembangunan bank ini difokuskan pada pengalihan haluan dari bank sistem ribawi menuju bank islami.

Bank Faisal Islami merupakan Bank Syariah pertama yang mempraktekkan operasional perbankan modern di Mesir. Mulai beroperasi pada bulan Maret 1978 M, dan memperoleh asset 2 miliar dollar USA pada tahun 1986 M. Tujuannya memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang meliputi kebutuhan sandang, pangan dan pakaian. Produk andalannya adalah proyek perumahan ekonomis untuk kelas menengah kebawah.

Pakistan termasuk pelopor dibidang perbankan syariah. Pada tahun 1979 M, sistem bunga diganti dengan tiga institusi besar lembaga keuangan. Pada tahun 1979-1980 M, pemerintah memberikan sistem pinjaman tanpa bunga kepada nelayan dan petani.

Pada tahun 1984 M perbankan syariah mulai beroperasi di Iran. Perbankan syariahnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam; perbankan komersial dan lembaga pembiayaan khusus.

Bahrain memiliki 220 bank yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Tidak kurang dari 22 diantaranya adalah bank syariah, seperti; City Islamic Bank of Bahrain, Faisal Islamic Bank of Bahrain, Al Barakah Bank dan Bank Bahrain Islami.

Pada tahun 1984 M, pemerintah Turki mengizinkan Daar Al Maal al Islamy untuk mendirikan bank yang beroperasi atas dasar bagi hasil. Pada tahun 1985 M didirikan pula Faisal al Finance Institution. Turki juga memiliki ratusan lembaga wakaf yang memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada 
masyarakat.

Adapun bank syariah pertama di Asia Tenggara adalah Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), yang berdiri pada tahun 1983 M, 30% modalnya adalah milik pemerintah federal. Saham BIMB sebagian besar dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan Haji. Pada tahun 1999 M, berdirilah bank syariah baru dengan nama “Bank Bumi Putera Muamalah” yang merupakan anak perusahaan Bank Bumi Putera yang baru saja merger dengan Bank of Commerce.

Bagaimana di Indonesia?

Kita ketahui Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk mayoritas Beragama Islam, dalam mempraktekkan perbankan syariah agak ketinggalan karena kondisi politik yang kurang memadai waktu itu sehingga mempengaruhi lambatnya berdirinya bank syariah. Diskusi bank syariah sebenarnya telah dirintis sejak tahun 80-an. Disamping itu diadakan uji coba dalam skala terbatas, seperti yang dilakukan oleh Baitul Tanwil Salman-Bandung, di Jakarta telah dibentuk Koperasi Ridho Gusti dan akhirnya lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Sementara di Bandung dipelopori oleh KH. Latief Muchtar ketua PERSIS yang terkenal sebagai pejuang ekonomi syariah dengan mendirikan BPRS Amanah Rabbaniyah yang sampai sekarang masih bertahan.

Adapun gagasan untuk mendirikan bank syariah pada dekade 90-an, berawal dari lokakarya bank tanpa bunga yang diadakan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 8-10 Agustus 1990 M di Cisarua Bogor. Hasil dari lokakarya tersebut dibahas kembali dalam Munas MUI IV, yang kemudian berakhir dengan pendirian bank Islam di Indonesia yang bernama “Bank Muamalat Indonesia”. Adapun landasan hukum operasi bank syariah hanya dikategorikan sebagai “Bank dengan sistem Bagi Hasil”.

Hal ini disebabkan karena keterbatasan hukum yang melandasinya, yaitu UU No.7 Tahun 1992 M yang membahas tentang bank syariah hanya sepintas lalu. Kemudian pada tahun 1998 keluarlah undang-undang baru tentang perbankan syariah, yaitu UU No.10 Tahun 1998. Di dalamnya mengatur tentang landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang bisa dioperasikan oleh bank syariah. Undang-undang inilah yang menjadi stimulus kepada bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi total menjadi bank syariah, seperti Bank Susila Bakti menjadi Bank Mandiri Syariah.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182), khususnya Pasal 6 buruf M bahwa bank umum atau bank perkreditan syari’ah dapat beroperasi menggunakan prinsip syariah atau bank umum konvensional dapat juga menjalankan kegiatan syariah disamping kegiatan konvensional. Sistem ini disebut dengan dual banking system, maksudnya adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian regulasi perbankan syariah diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dimana bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan syariah disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) sehingga lahirlah BNI Syariah, BCA Syariah, BTN Syariah dan Unit Usaha Syariah bank lainnya. Termasuk bank yang sahamnya milik non muslim juga membuka Unit Usaha Syariah, tentu motifnya adalah bisnis membidik pasar umat Islam.


*Sumber: Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH" No.4 TH. 56 Syawwal 1439 H / Juli 2018 M

Penulis : Dr. Latief Awaludin, MA.