Menurut para ekonom muslim, sebenarnya aktifitas perbankan
telah dimulai sejak zaman Rasulullaah Saw. Beliau terkenal sebagai seorang yang
terpercaya menyimpan segala deposit masyarakat Arab Quraisy sampai ketika
beliau hijrah ke Madinah. Zubair bin Awwam adalah seorang sahabat Rasul Saw
yang suka menerima uang dalam bentuk pinjaman bukan deposit. Ada dua sebab
kenapa Zubair menerimanya, Pertama; karena jika akadnya pinjaman ia berhak
memutar uang tersebut untuk diinvestasikan. Kedua; jika transaksi berbentuk
pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti
semula.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau
menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek
ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari
Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah,
musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal
diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan
fungsi perbankan di jaman Rasulullah Saw, meskipun individu tersebut tidak
melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima
titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang, ada
yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal
kerja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari
khazanah ilmu fiqih, seperti kredit (English: credit; Romawi: credo) yang
diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti
meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English:
check; France: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq
dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa
digunakan di Pasar.
Kemudian pada era modern, tepatnya pada tahun 1940-an
Perbankan Syariah dipraktekkan oleh Pakistan dan Malaysia yang menerapkan
sistem profit dan loss sharing yaitu dengan cara mengelola dana
milik jamaah haji secara non konvensional. Pada tahun 1963 M di Mesir, telah
dirintis pula sebuah bank lokal di Mith Ghamr. Akibat situasi politik saat itu,
bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank Egypt.
Akibatnya bank ini berubah menjadi bank riba. Namun institusi tersebut menjadi
pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam
selanjutnya.
Pemicu lainnya perbankan Islam adalah respon para ulama
mensikapi hukum bunga bank yang dipetakan kepada 3 pendapat. Pertama; bunga
bank bukan termasuk riba dengan berbagai alasan, diantaranya tidak ad’afan
mudhaafatan artinya bunga sebagai imbal jasa sebagaimana pendapat Muhammad
Abduh dan A. Hassan. Kedua; bunga bank adalah syubhat, sebagaimana
pendapat pertama Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) dan sebagian pandangan LBM
Nahdlatul Ulama (1982) dan Ketiga; bunga bank haram, karena termasuk riba
dengan alasan sistem bunga adalah hakikatnya pinjaman yang dipersyaratkan
tambahan atau bunga diawal, sehingga disamakan dengan riba nasiah.
Inilah pendapat mayoritas dan menjadi kesepakatan lembaga fatwa, seperti Majma’
al-Buhuts al-Islamiyah (al-Azhar), Majma’ al-Fiqh al-Islamy (di
bawah naungan OKI), dan al-Majma’ al-Fiqhy (Rabithoh al-‘Alam
al-Islamy). Sejak tahun 1965 M, ketiga lembaga ini berijma’ bahwa bunga bank
adalah; riba yang haram. Kemudian akhirnya di Indonesia hampir semua lembaga
fatwa mengharamkannya, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Bahsul Masail NU, Dewan
Hisbah PERSIS dan puncaknya fatwa MUI pada tahun 2003. Meski demikian, kita
masih saja menjumpai orang-orang yang berusaha mencari-cari celah untuk
membolehkan bunga bank ini.
Maka dengan haramnya bunga bank melalui proses yang cukup
panjang, akhirnya pada tahun 1975 M rancangan pendirian International
Development Bank (IDB) disetujui di Jeddah. Dalam rangka pengembangan
sistem ekonomi syariah, IDB membangun sebuah institusi riset dan pelatihan
untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang
perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (International
Risearch and Training Institute).
Pembentukan IDB memberi spirit bagi Negara-negara Islam untuk
mendirikan lembaga keuangan syariah. Lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan
kedalam dua kategori yaitu; Pertama, Bank Islam Komersil, seperti Faisal
Islamic Bank, Kuwait Finance House. Kedua, lembaga investasi dalam
bentuk international holding companies, seperti Daar al Maal al
Islamy di Jenewa, Islamic Investment Company di Bahama.
Berikut perkembangan sekilas tentang Bank Islam diberbagai
Negara:
Bank Dubai Islami berdiri pada tahun 1975 M dengan modal 50
juta dirham. Bank ini berkonsentrasi pada proyek-proyek industry, proyek-proyek
perumahan, dan aktifitas-aktifitas komersial. Adapun produk unggulannya adalah
proyek perikanan di sepanjang delta Dubai. Pada tahun 1977 M, berdirilah Bait
at Tanwil al Kuwaity atau Kuwait Finance House atas kerjasama antara
menteri wakaf, menteri kehakiman, dan menteri keuangan. Modal awal 10 Dinar Kuwait.
Tujuan utama pembangunan bank ini difokuskan pada pengalihan haluan dari bank
sistem ribawi menuju bank islami.
Bank Faisal Islami merupakan Bank Syariah pertama yang
mempraktekkan operasional perbankan modern di Mesir. Mulai beroperasi pada
bulan Maret 1978 M, dan memperoleh asset 2 miliar dollar USA pada tahun 1986 M.
Tujuannya memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang meliputi kebutuhan sandang,
pangan dan pakaian. Produk andalannya adalah proyek perumahan ekonomis untuk
kelas menengah kebawah.
Pakistan termasuk pelopor dibidang perbankan syariah. Pada
tahun 1979 M, sistem bunga diganti dengan tiga institusi besar lembaga
keuangan. Pada tahun 1979-1980 M, pemerintah memberikan sistem pinjaman tanpa
bunga kepada nelayan dan petani.
Pada tahun 1984 M perbankan syariah mulai beroperasi di
Iran. Perbankan syariahnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam; perbankan
komersial dan lembaga pembiayaan khusus.
Bahrain memiliki 220 bank yang beroperasi di dalam dan luar
negeri. Tidak kurang dari 22 diantaranya adalah bank syariah, seperti; City
Islamic Bank of Bahrain, Faisal Islamic Bank of Bahrain, Al Barakah Bank dan
Bank Bahrain Islami.
Pada tahun 1984 M, pemerintah Turki mengizinkan Daar Al Maal
al Islamy untuk mendirikan bank yang beroperasi atas dasar bagi hasil. Pada
tahun 1985 M didirikan pula Faisal al Finance Institution. Turki juga memiliki
ratusan lembaga wakaf yang memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada
masyarakat.
Adapun bank syariah pertama di Asia Tenggara adalah Bank
Islam Malaysia Berhad (BIMB), yang berdiri pada tahun 1983 M, 30% modalnya
adalah milik pemerintah federal. Saham BIMB sebagian besar dikuasai oleh
Lembaga Urusan dan Tabungan Haji. Pada tahun 1999 M, berdirilah bank syariah
baru dengan nama “Bank Bumi Putera Muamalah” yang merupakan anak perusahaan
Bank Bumi Putera yang baru saja merger dengan Bank of Commerce.
Bagaimana di Indonesia?
Kita ketahui Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk
mayoritas Beragama Islam, dalam mempraktekkan perbankan syariah agak
ketinggalan karena kondisi politik yang kurang memadai waktu itu sehingga
mempengaruhi lambatnya berdirinya bank syariah. Diskusi bank syariah sebenarnya
telah dirintis sejak tahun 80-an. Disamping itu diadakan uji coba dalam skala
terbatas, seperti yang dilakukan oleh Baitul Tanwil Salman-Bandung, di Jakarta
telah dibentuk Koperasi Ridho Gusti dan akhirnya lahirlah Bank Muamalat
Indonesia. Sementara di Bandung dipelopori oleh KH. Latief Muchtar ketua PERSIS
yang terkenal sebagai pejuang ekonomi syariah dengan mendirikan BPRS Amanah
Rabbaniyah yang sampai sekarang masih bertahan.
Adapun gagasan untuk mendirikan bank syariah pada dekade
90-an, berawal dari lokakarya bank tanpa bunga yang diadakan oleh Majlis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 8-10 Agustus 1990 M di Cisarua Bogor. Hasil dari
lokakarya tersebut dibahas kembali dalam Munas MUI IV, yang kemudian berakhir
dengan pendirian bank Islam di Indonesia yang bernama “Bank Muamalat Indonesia”.
Adapun landasan hukum operasi bank syariah hanya dikategorikan sebagai “Bank
dengan sistem Bagi Hasil”.
Hal ini disebabkan karena keterbatasan hukum yang
melandasinya, yaitu UU No.7 Tahun 1992 M yang membahas tentang bank syariah
hanya sepintas lalu. Kemudian pada tahun 1998 keluarlah undang-undang baru
tentang perbankan syariah, yaitu UU No.10 Tahun 1998. Di dalamnya mengatur
tentang landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang bisa dioperasikan oleh bank
syariah. Undang-undang inilah yang menjadi stimulus kepada bank konvensional
untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi total menjadi bank syariah,
seperti Bank Susila Bakti menjadi Bank Mandiri Syariah.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182), khususnya Pasal 6 buruf M bahwa bank umum atau bank perkreditan syari’ah dapat beroperasi menggunakan prinsip syariah atau bank umum konvensional dapat juga menjalankan kegiatan syariah disamping kegiatan konvensional. Sistem ini disebut dengan dual banking system, maksudnya adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian regulasi perbankan syariah diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dimana bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan syariah disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) sehingga lahirlah BNI Syariah, BCA Syariah, BTN Syariah dan Unit Usaha Syariah bank lainnya. Termasuk bank yang sahamnya milik non muslim juga membuka Unit Usaha Syariah, tentu motifnya adalah bisnis membidik pasar umat Islam.
*Sumber: Majalah Da'wah Islamiyah "RISALAH" No.4 TH. 56 Syawwal 1439 H / Juli 2018 M
Penulis : Dr. Latief Awaludin, MA.