Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Shaum Sunnah
Telah dimaklumi dalam Kitabullah, bahwa dalam satu tahun ada 12 bulan, diantaranya ada empat bulan mulia (QS. At-Taubah/9: 36). Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Al-Bazzar dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan, empat bulan (arba’atun hurum) yang dimaksud adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. (Ibnu Katsier, Tafsierul Qur’aanil ‘Azhiem/2, hlm. 322).
Kaitannya
dengan shaum sunnah Muharram, di dalamnya ada hari kesembilan (tasu’a)
dan hari kesepuluh (‘asyura) yang hakikatnya semua bulan memiliki nama
kedua hari tersebut. Namun yang dimaksud di sini adalah hari kesembilan dan
kesepuluh di bulan Muharram saja. Sejak kapan penamaan itu populer?, tentunya
perlu merujuk pada sumber-sumber periwayatan yang jelas dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Pertama; ‘Asyura telah dipopulerkan sejak
zaman Arab jahiliyyah Quraisy, dimana mereka sudah terbiasa melakukan shaum di
hari itu. Ketika Rasulullah Saw berada di Madinah, beliau pun shaum dan
menyerukan kepada yang lainnya. Setelah datangnya kewajiban shaum ramadhan,
para sahabat diberikan pilihan. Bagi yang mau shaum dipersilahkan, bagi yang
meninggalkannya tidak apa-apa. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Aisyah
ra.).
Muhammad bin
‘Ali as-Syaukani berkomentar, orang-orang Quraisy melaksanakan shaum, bersandar
pada tradisi pendahulu mereka dalam pengagungan kiswah ka’bah. (Asy-Syaukani, Nailul
Authaar/2, hlm.321).
Kedua; ‘Asyura merupakan hari yang sangat
agung bagi kaum Yahudi, sebahagian mereka shaum dan sebahagiaan lagi
menjadikannya hari raya. Mereka meyakini, hari tersebut adalah hari kemenangan,
dimana Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan nabi Musa As dan Bani Israil
dari musuh-musuhnya. Hal serupa, dilakukan pula oleh kaum Nashrani. (HR. Muslim
dan Ahmad dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari dan Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu’anhumaa).
Para
mufassir menyebutkan, pelaksanaan ibadah mereka ini, lebih disandarkan pada
peringatan keselamatan atau hari kemerdekaan mereka setelah diselamatkannya
dari kejahatan rezim Fir’aun sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah/2:
49-50. (Asy-Syaukani, Fathul Qadier/1, hlm. 109).
Ketiga; Shaumnya Rasulullaah dihari
kesepuluh bulan Muharram, merupakan haknya sebagai Nabi dan Rasul (bukan karena
mengikuti Yahudi), karena sebelum mereka melakukannya, beliau sudah lebih dulu
menunaikan. Perkataan “Anaa ahaqqu bi Muusa minkum; aku lebih berhak
ketimbang Musa dalam menentukan shaum untuk kalian”. Rasul pun shaum dan
memerintahkan para sahabatnya untuk shaum pula. (HR. Muslim)
Namun
demikian, para sahabat mengajukan keberatan, sehubungan ada nilai kesamaan (tasyabuh)
dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, sehingga beliau menambahkan hari
kesembilannya (yaumut taasi’). Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh menjelaskan:
“Ketika Rasulullaah, menunaikan shaumshaum ‘asyura, beliau memerintahkan agar
orang-orang pun menunaikannya. Para shahabat bertanya: wahai Rasulullaah,
sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan kaum Yahudi dan Nashrani.
Rasul pun menjawab: Jika tahun yang akan datang ada kesempatan, kita akan shaum
di hari kesembilannya juga”. Ibnu ‘Abbas menambahkan: “Tahun depan yang
disebut-sebut tadi belum tiba, Rasulullaah telah berpulang keharibaanNya lebih
dulu” (HR. Muslim/7-8, hlm. 254 no.2661).
Adapun untuk
mengukur sejauhmana nilai keutamaan ibadah ini, sahabat Abu Qatadah al-Anshary radhiyallaahu
‘anh menjelaskan: “Bahwa Rasulullaah ditanya tentang keutamaan shaum
‘asyura, beliau menjawab: shaum ‘asyura dapat menghapus dosa satu tahun yang
lalu” (HR. Muslim no. 2740).
Budaya
Syi’ah Hingga Local Wisdom
Diantara
yang paling menonjol dalam merayakan tradisi ‘asyura adalah kaum Syi’ah dan
diantara yang paling berjasa melestarikan upacara-upacara Syi’ah adalah Dinasti
Buwaihiyyah (321-447 H). Di samping memperingati hari Ghadir Khum tanggal 18
Dzulhijjah sebagai hari pengangkatan ‘Ali radhiyallaahu ‘anh menjadi
penerima wasiat (waashiy) dan khalifah sesudahnya, juga menjadikan 10
Muharram sebagai hari berkabung untuk meratapi wafatnya Husein bin ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallaahu ‘anh. Bahkan pada masa Muiz ad-Daulah Ahmad bin
Buwaih, pernah diperintahkan agar seluruh rakyatnya (termasuk penganut Sunni)
menutup toko, tidak melakukan transaksi di pasar-pasar, mengenakan pakaian
berkabung dan wanitanya meratapi Husein. ‘Abdullah bin Sa’ied al-Junaid dalam
bukunya Hiwaarun Haadi Bainas Sunnah was Syi’ah menuturkan: “Perayaan
sepuluh Muharram yang disandarkan kepada tanah Karbala (tempat Husein
meninggal) dijadikan tanah suci yang disebut turbah husainiyyah, di mana
rumah-rumah penganut Syi’ah diletakkan turbah (tanah) tersebut untuk
dijadikan perantara dalam bersujud, bahkan mereka menciumnya dan mengambil
berkahnya” (Al-Junaid, tp tahun: 111)
Lebih tragis
lagi, Mamduh Farhan al-Buhairy dalam bukunya As-Syi’ah Minhum ‘Alaihim, membawakan
fakta-fakta keji perayaan mawaakib husainiyyah itu, diantaranya; dengan pakaian
serba hitam mereka merobek-robek baju, menampar-nampar pipi, memukul-mukul dada
dan punggung, sambil menggotong keranda (tabut) yang disebut kubah Husein
seraya mereka berteriak: “yaa Husaiin ... “. Disela-sela ritus
Yahudiyyah, mereka mendidik agar anak mereka membiasakan menangis agar nanti
terbiasa dalam meratap, bahkan diantara mereka ada yang memaksakan memukul
kepala dengan pedang dan rantai besi ke dada mereka hingga berlumuran darah.
Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa (qurbah).
(Al-Buhairy, 2001: hlm. 232).
Untuk
menjawab berbagai pihak yang dianggapnya sebagai fitnah dan tuduhan terkait
semangat ‘asyura, seorang penulis Syi’ah Ali Ashgar Ridhwani menyususn sebuah
buku dengan judul ‘Asyura dan Kebangkitan Imam Husain; Menjawab Fitnah dan
Tuduhan. Buku ini diterbitkan Nur Al-Huda, IIC Jakarta.
Dengan
keyakinan seperti itu, jelas mereka telah menyalahi ajaran shabar dan ihtisaab,
yaitu pencarian pahala sabar dan ridha Allah. Dalam waktu yang sama, ajaran ini
pun sangat bertentangan dengan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam:
“Bukanlah golongan kami, orang yang suka menampar-nampar pipi dan merobek-robek
baju dan berseru dengan seruan jahiliyyah.” (HR. Al-Bukhari dari sahabat
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh, Mukhtashar Shahieh al-Bukhari no. 621,
hlm.199).
Pada fase
berikutnya, kini budaya tersebut mengalami perubahan dalam bentuknya yang
berbeda pula, disamping masih banyak yang mempertahankan keasliannya (walau
hanya memukul-mukul dada dan kepala dengan tangan). Seiring perkembangannya,
dengan alasan kearifan lokal (local wisdom), tradisi bubur suro di Tatar
Pasundan sempat membudaya, tabot di Bengkulu, tabuik di Pariaman dan tari
seudati (disandarkan pada kata sayyidah Fathimah Az-Zahra) di Aceh sampai kini
masih lestari. Bahkan yang lebih familiar seperti pencucian barang pusaka dan
grebeg muharram di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini menjadi pesona
wisata tersendiri. Demikian pula yang terkait dengan ibadah-ibadah sosial,
tidak luput dari irisan yang dikaitkan dengan sepuluh Muharram seperti halnya
istilah populer lebaran anak yatim yang dihubung-hubungkan dengan keutamaan
sedekah (shadaqah) di bulan ini dimana Sayyidina Husein wafat. Artinya, istilah
yang disematkan kepada keutamaan sedekah dan memelihara anak yatim, tidak mesti
dihubung-kan dengan keutamaan bulan Muharram yang sudah jelas tuntunannya.
Kembali ke
hari ‘Asyura, Syaikh ‘Ali Mahfuzh (Guru Besar Al-Azhar Mesir) dalam kitabnya Al-Ibdaa’
Fie Madhaaril Ibtidaa’ memberikan pandangan singkatnya dengan menukil
pendapat ‘Allaamah Ibnu al-‘Izz al-Hanafi sebagai berikut: “Tidak ada
keterangan yang shahieh dari Nabi mengenai ‘asyura melainkan shaumnya saja.” (Lihat
‘Ali Mahfuzh, 1985: hlm. 330-337).
Semoga Rabbul
‘Aalamien memberikan keberkahan seberkah bulan Muharram yang
dianugerahkanNya dan menghindarkan kita dari segala bentuk pengingkaran dan
penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin ...
Wallaahul musta’an.
___________
Penulis
adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah);
Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat);
Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat;
Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah; dan
Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta.
Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat);
Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat;
Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah; dan
Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta.
____________
Risalah
Jum’ah edisi 4 Muharam 1440 H – 14 September 2018 M
risalahjumah.persis@gmail.com
risalahjumah.persis@gmail.com